Selasa, 02 Oktober 2012


Kisah Anak yang Durhaka
Di sebuah Desa Hiduplah seorang janda miskin dengan seorang anak gadisnya. Janda ini membanting tulang sehari-hari dengan mencari kayu ke hutan. Sementara Si anak yang bernama Gendis hanya bermalas-malasan di rumahnya yang seperti gubuk karena jarang dibersihkan. Setiap hari ia hanya bersolek di depan cermin.
Pada suatu pagi , Sang janda tergopoh-gopoh menyiapkan sarapan. Hal ini terjadi karena Ia bangun kesiangan akibat badannya yang terasa letih mencari kayu seharian kemarin.
“Ibu, mana sarapannya?” teriak Gendis sambil memegang cermin di tangannya.
“Iya Nak, ini sudah siap kok” ujar ibu dengan penuh kesabaran menanggapi kekasaran si anak.
“Apa ini, kok hanya singkong rebus dengan segelas teh?” bentaknya sambil melempar piring hingga terjatuh ke lantai.
Melihat sikap Gendis janda itu hanay bias kuat dan sabar untuk menahan air matanya yang ingin menetes.
“Tapi Nak, kita hanya punya ini. Ibu harus menyimpan uang untuk kebutuhan kita besok’ jawabnya lirih.
“Apaaa, buat besok? Ibu tega kasih makan Aku Cuma dengan sepiring singkong dan segelas teh. Aku enggak mau tahu, pokoknya hari ini kita harus ke pasar untuk belanja. Aku mau makan enak hari ini.”
Mendengar perkataan anaknya si Ibu hanya bisa diam dan mengikuti kemauan anak tersayangnya. Seketika itu juga mereka pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Setibanya di pasar Gendis mengalun-alunkan kipasnya, sementara sang Ibu berjalan di belakang membawa keranjang belanjaan. Warga desa yang ada di pasar terkagum-kagum akan kecantikan yang dimiliki Gendis. Di tengah perjalanan muncullah sekumpulan pemuda menggoda Gendis.
“Haii Nona cantik, siapakah nama Nona?” goda pemuda 1.
“Bolehkah kami kenalan dengan Nona?” ujar pemuda 2.
Mendengar pujian tersebut Gendis hanya bisa tersenyum bangga akan kecantikan yang dimilikinya. Pikirnya tidak sia-sia ia merawat dan bersolek tiap hari demi kecantikan yang dimilikinya. Tiba-tiba muncullah pertanyaan,
“Siapakah Ibu tua yang berjalan di belakangmu Nona, apakah dia ibumu atau pembantumu?” ucap pemuda 3 tidak mau ketinggalan.
Mendengar satu pertanyaan itu, Gendis hanya bisa tersenyum manis dan menjawab “Bukan, dia adalah PEMBANTUKU” jawabnya dengan penuh kesombongan.


Saat tiba di tukang sayur, dan ingin membayar belanjanya,
“Semuanya Lima belas ribu Nona cantik. Siapakah ibu tua di belakangmu itu?” ujar pedagang sayur yang iba melihat kondisi janda tua yang terlihat lusuh tersebut.
“Ini uangnya pak. Dia adalah PEMBANTUKU” untuk kedua kalinya Gendis mengatakan ibunya sebagai Pembantu.
Mendengar pengakuan sang anak, janda itu hanya bisa diam dan mencoba kuat mendengar pengakuan anak tersayangnya.

Setelah membeli kebutuhan sehari-hari, mampirlah mereka ke toko kain. Gendis ingin membeli kain baru untuk menghiasi tubuh indahnya.
“Permisi Pak, tolong beri dua kain indah itu pak” pintanya sambil menunjuk ke arah kain yang berjejer.
“Wah, pintar sekali Nona memilih warnanya. Kedua warna ini sangat cocok dengan kulit indah Nona” ujar pedagang sambil membungkus kainnya.
“Berapa semuanya pak?’
“Empat puluh ribu saja Nona. Kalau boleh saya tahu, siapakah gerangan wanita tua yang berdiri di belakang Nona itu?”
“Ini uangnya Pak. Dia adalah PEMBANTUKU, terima kasih kainnya ya Pak.”

Mendengar untuk ketiga kalinya janda itu disebut sebagai pembantu, maka Ia tidak tahan lagi akan pengakuan anaknya. Maka ia berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, hamba memang sangat mengasihi Gendis dengan segala kekuranganku. Hamba menerima semua perlakuannya kepadaku selama ini. Namun, kata-kata pembantu yang diakuinya sudah sangat melukai perasaan hamba. Kuserahkan anak ini ke dalam tangan-Mu. Terserah pada-Mu Kau apakan dia. Berilah kebesaran-Mu Tuhan” doa sang Ibu dengan air mata yang tidak terbendung lagi.

10 menit setelah janda itu berdoa, kebesaran Tuhan pun terjadi. Perubahan terjadi pada diri Gendis. Mulai dari ujung kakinya berubah menjadi batu. Perlahan-lahan batu itu mulai menyelimuti tubuhnya, sedangkan penyesalannya mulai datang di akhir karmanya. Warga di pasar hanya bisa tertegun melihat tragedi ibu dan anak itu.

Pesan moral cerita : sebagai seorang anak haruslah kita menghargai orang tua kita. Khususnya seorang ibu yang telah berjuang antara hidup dan mati untuk berjuang  melahirkan kita. Seburuk-buruknya mereka tetaplah orang tua kita. Titipan kedua Tuhan untuk kita hormati di dunia ini.
(Mry)      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar