Kisah Anak yang Durhaka
Di sebuah
Desa Hiduplah seorang janda miskin dengan seorang anak gadisnya. Janda ini
membanting tulang sehari-hari dengan mencari kayu ke hutan. Sementara Si anak
yang bernama Gendis hanya bermalas-malasan di rumahnya yang seperti gubuk
karena jarang dibersihkan. Setiap hari ia hanya bersolek di depan cermin.
Pada
suatu pagi , Sang janda tergopoh-gopoh menyiapkan sarapan. Hal ini terjadi
karena Ia bangun kesiangan akibat badannya yang terasa letih mencari kayu
seharian kemarin.
“Ibu,
mana sarapannya?” teriak Gendis sambil memegang cermin di tangannya.
“Iya Nak,
ini sudah siap kok” ujar ibu dengan penuh kesabaran menanggapi kekasaran si
anak.
“Apa ini,
kok hanya singkong rebus dengan segelas teh?” bentaknya sambil melempar piring
hingga terjatuh ke lantai.
Melihat
sikap Gendis janda itu hanay bias kuat dan sabar untuk menahan air matanya yang
ingin menetes.
“Tapi
Nak, kita hanya punya ini. Ibu harus menyimpan uang untuk kebutuhan kita besok’
jawabnya lirih.
“Apaaa,
buat besok? Ibu tega kasih makan Aku Cuma dengan sepiring singkong dan segelas
teh. Aku enggak mau tahu, pokoknya hari ini kita harus ke pasar untuk belanja.
Aku mau makan enak hari ini.”
Mendengar
perkataan anaknya si Ibu hanya bisa diam dan mengikuti kemauan anak
tersayangnya. Seketika itu juga mereka pergi ke pasar untuk membeli bahan
makanan. Setibanya di pasar Gendis mengalun-alunkan kipasnya, sementara sang
Ibu berjalan di belakang membawa keranjang belanjaan. Warga desa yang ada di
pasar terkagum-kagum akan kecantikan yang dimiliki Gendis. Di tengah perjalanan
muncullah sekumpulan pemuda menggoda Gendis.
“Haii
Nona cantik, siapakah nama Nona?” goda pemuda 1.
“Bolehkah
kami kenalan dengan Nona?” ujar pemuda 2.
Mendengar
pujian tersebut Gendis hanya bisa tersenyum bangga akan kecantikan yang
dimilikinya. Pikirnya tidak sia-sia ia merawat dan bersolek tiap hari demi
kecantikan yang dimilikinya. Tiba-tiba muncullah pertanyaan,
“Siapakah
Ibu tua yang berjalan di belakangmu Nona, apakah dia ibumu atau pembantumu?”
ucap pemuda 3 tidak mau ketinggalan.
Mendengar
satu pertanyaan itu, Gendis hanya bisa tersenyum manis dan menjawab “Bukan, dia
adalah PEMBANTUKU” jawabnya dengan penuh kesombongan.
Saat tiba
di tukang sayur, dan ingin membayar belanjanya,
“Semuanya
Lima belas ribu Nona cantik. Siapakah ibu tua di belakangmu itu?” ujar pedagang
sayur yang iba melihat kondisi janda tua yang terlihat lusuh tersebut.
“Ini
uangnya pak. Dia adalah PEMBANTUKU” untuk kedua kalinya Gendis mengatakan
ibunya sebagai Pembantu.
Mendengar
pengakuan sang anak, janda itu hanya bisa diam dan mencoba kuat mendengar
pengakuan anak tersayangnya.
Setelah
membeli kebutuhan sehari-hari, mampirlah mereka ke toko kain. Gendis ingin
membeli kain baru untuk menghiasi tubuh indahnya.
“Permisi
Pak, tolong beri dua kain indah itu pak” pintanya sambil menunjuk ke arah kain
yang berjejer.
“Wah,
pintar sekali Nona memilih warnanya. Kedua warna ini sangat cocok dengan kulit
indah Nona” ujar pedagang sambil membungkus kainnya.
“Berapa
semuanya pak?’
“Empat
puluh ribu saja Nona. Kalau boleh saya tahu, siapakah gerangan wanita tua yang
berdiri di belakang Nona itu?”
“Ini
uangnya Pak. Dia adalah PEMBANTUKU, terima kasih kainnya ya Pak.”
Mendengar
untuk ketiga kalinya janda itu disebut sebagai pembantu, maka Ia tidak tahan
lagi akan pengakuan anaknya. Maka ia berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, hamba memang
sangat mengasihi Gendis dengan segala kekuranganku. Hamba menerima semua
perlakuannya kepadaku selama ini. Namun, kata-kata pembantu yang diakuinya
sudah sangat melukai perasaan hamba. Kuserahkan anak ini ke dalam tangan-Mu.
Terserah pada-Mu Kau apakan dia. Berilah kebesaran-Mu Tuhan” doa sang Ibu
dengan air mata yang tidak terbendung lagi.
10 menit
setelah janda itu berdoa, kebesaran Tuhan pun terjadi. Perubahan terjadi pada
diri Gendis. Mulai dari ujung kakinya berubah menjadi batu. Perlahan-lahan batu
itu mulai menyelimuti tubuhnya, sedangkan penyesalannya mulai datang di akhir
karmanya. Warga di pasar hanya bisa tertegun melihat tragedi ibu dan anak itu.
Pesan
moral cerita : sebagai seorang anak haruslah kita menghargai orang tua kita.
Khususnya seorang ibu yang telah berjuang antara hidup dan mati untuk
berjuang melahirkan kita. Seburuk-buruknya
mereka tetaplah orang tua kita. Titipan kedua Tuhan untuk kita hormati di dunia
ini.
(Mry)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar