Selasa, 30 Maret 2010

Dari Suatu Perpisahan

Terkadang ada baiknya kita berduka,
Agar terasa betapa gembira
Pada saatnya kita bersuka

Terkadang ada baiknya kita menangis,
Agar terasa betapa manis
Pada saatnya kita tertawa

Terkadang ada baiknya kita merana,
Agar terasa betapa bahagia
Pada saat ita bahagia

Dan jika kita sedang berpisah
Itu pun ada baiknya juga
Agar terasa betapa mesra
Jika pada saatnya nanti
Kita ditakdirkan bertemu lagi

Budaya Baca di Indonesia

Negara yang berhasil adalah Negara yang masyarakatnya gemar membaca. Membaca berawal dari hobi seseorang. Intinya, harus ada kemauan yang kuat dalam diri seseorang untuk selalu membaca tiap harinya. Jika, kegiatan membaca sudah dilakukan tiap harinya, alhasil wawasan kita pun akan bertambah pula. Mungkin memang benar hingga saat ini di Indonesia masih sangat sedikit masyaraktnya yang gemar membaca. Hal ini dapat dilihat dari kebudayaan para remaja yang menghabiskan sebagian waktu mereka untuk bersenang-senang di luar, seperti kumpulan remaja yang hobi nongkrong, jalan-jalan ke mall, dan hanya kepuasan dunia sesaat. Mereka tidak berpikir panjang dampak dari malas membaca. Membaca sudah dilakukan sejak kita duduk di bangku Taman Kanak-Kanak bahkan hingga akhir hayat. Jika program membaca begitu penting untuk kemajuan suatu bangsa, seberapa besarkah masyarakat Indonesia yang gemar membaca hingga saat ini?
Hingga saat ini minat baca masyarakat Indonesia masih dapat dikatakan rendah. Ini dapat kita lihat dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006. Bahwa masyarakat kita belum menjadidkan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%), mendengarkan radio (40,3%), dan membaca Koran (23,5%).
Pada tahun 1992 International Association for Evantiluation of Eduacatuonal (IEA) melakukan riset tentang kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar (SD) kelas IV 30 negara di dunia. Dari kesimpulan riset tersebut Indonesia menduduki urutan ke-29. Urutan tersebut menunjukan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak SD.
Melihat realita yang seperti ini membuat miris nasib bangsa kedepannya. Jika, anak-anak SD sudah dilanda kemalasan untuk membaca bagaimana tingkatan-tingkatan di golongan atasnya. Kemalasan seeorang memang sangat sulit untuk dihilangkan, tapi malas tersebut dapat disiasati dengan berawal dari kesenangan salah satu contoh, membaca buku-buku yang berbau hiburan seperti, komik, cerpen, novel. Dari buku-buku bacaan tersebut kita akan terus membaca setiap serinya. Berawal dari bacaan ringan tersebut, kita mulai dengan bacaan-bacaan yang berpengetahuan. Pelan-pelan tetapi berbuah wawasan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) , bahwa penduduk Indonesia yang berumur di atas 15 tahun membaca koran pada minggu hanya 55,11%. Sedangkan yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22%, buku cerita 16,72%, buku pelajaran sekolah 44,28% dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07%
Pada dasarnya, program membaca di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, Bab III pasal 4 ayat 5. Begitu pentingnya kegiatan membaca sehingga leluhur bangsa menciptakan ungkapan “membaca adalah kunci Ilmu, sedangkan gudang ilmu adalah buku”.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak di Indonesia tergolong rendah. Pertama, kurangnya sarana dan prasarana. Salah satu contoh fasilitas perpustakaan yang masih sangat kurang dalam memberikan sajian buku-buku yang masih sedikit. Oleh karena itu sangat diperlukan buku-buku yang bermutu dalam perpustakaan untuk menarik minat baca si pembaca. Kedua, masih banyaknya keluarga di Indonesia yang belum mentradisikan kegiata membaca pada anak-anak. Padahal jika, mereka menginginkan anak-anak yang berwawasan luas harus selalu mengajak jalan-jalan ke toko buku, dibanding dengan jalan-jalan ke tempat hiburan. Orangtua juga biasanya hanya member uang harin untuk anak-anak mereka jajan, padahal akan lebih baik jika disarankan untuk membeli buku.
Pribadi awal seorang anak akan terbentuk di dalam didikan sebuah keluarga. Termasuk dengan gemar membaca. Ada baiknya jika, di dalam sebuah keluarga terdapat perpustakaan keluarga, dan menghabiskan waktu berkumpul di perpustaaan tersebut. Hal ini harus dimulai dari perilaku orang tua terlebih dahulu, ajarkan anak-anak untuk selalu menggunakan sedikit dari waktu mereka untuk membaca. Dalam buku Mustofa W Hasyim yang berjudul Make Everything Well, khusus babnya “Menciptakan Keluarga Sukses” ia menganjurkan agar setiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga, sehingga perpustakaan bisa dijadikan tempat yang menyenangkan ketika berkumpul bersama istri dan anak-anak.
Hingga saat ini dunia perbukuan di Indonesia memang sedang berkembang. Jumlah buku yang diterbitkan semakin bertambah. Walaupun belum ada data mengenai jumlah buku baru yang terbit dalam setahun, namun mengacu kepada jumlah buku yang diterima jaringan toko buku besar seperti Gramedia dan Gunung Agung. Setidaknya Indonesia mampu menerbitkan 12.000 judul buku baru dalam setahun. Jumlah tersebut tidak termasuk buku yang cetak ulang dalam tahun yang sama. Dengan rata-rata tercetak untuk satu judulnya 3.000 eksemplar, maka setidaknya para penerbit Indonesia mampu mengahasilkan 36.000.000 eksemplar buku dalam setahun.
Secara jumlah ilustrasi tersebut kelihatnnya tergolong besar. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 250.000.000 orang, angka itu sangat memprihatinkan. Jika semua buku tersebut habis terserap pembaca, maka satu buku dikonsumsi oleh 6-7 orang dalam setahun. Celakanya perbandingan tersebut belum dianggap mewakili, karena pola distribusi buku di Indonesia yang kurang merata. Toko-toko buku yang sangat memadai terkonsentrasi pada kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Semarang, dan lain-lain. Bahkan, jika memperhitungkan daya serap pasar, lebih dari 40% buku diserap oleh pembaca yang ada di wilayah Jabodetabek.
untuk membudayakan program baca di kalangan masyarakat Indonesia, maka Ikapi mengesahkan tanggal 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional. Cara ini ditunjukan untuk mendorong kalangan perbukuan, baik penulis, penerbit, editor, illustrator, desainer, distributor, toko buku, dan lain-lain untuk menyadarkan masyarakat Indonesia mengenai pentingnya buku bagi kehidupan. Jika buku sudah menjadi gaya hidup, masyarakat tidak lagi asing lagi unuk membaca buku.
Oleh karena itu, tidak ada kata terlambat untuk memulai membaca buku. Membaca tidak mengenal usia. Karena wawasan seseorang akan dibawa hingga akhir hayat. Selain itu, jika buku sudah dianggap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup maka masyarakat tidak lagi menyikapi buku dengan kening berkerut, karena setiap lapisan masyarakat sudah mengerti bacaannya masing-masing. Apabila, masyarakat Indonesia sudah menganggap buku sebagai belahan jiwanya maka tidak perlu diragukan, masa depan bangsa akan terjamin dengan kegemaran baca yang dilakukan tiap individu.

Menulis, Siapa Takut?

Menulis! Mungkin kata-kata ini sudah sering kita dengar. Dari bangku Taman Kanak-Kanak (TK) kita sudah diajarkan untuk mulai menulis. Sangat banyak orang yang mampu melakukan kegiatan ini. Karena apabila dilihat, kegiatan ini hanya bentuk dari penyusunan huruf semata. Namun, apakah kita sudah memahami lebih dalam mengenai pengertian dari menulis itu sendiri?

Menulis merupakan suatu tindak lanjut dari mengarang karena memiliki tujuan tertentu. Oleh sebab itu, menulis dan mengarang merupakan dua hal yang saling mendukung satu satu sama lain bila seorang ingin menerbitkan karangannya. Dalam menulis, seorang penulis dituntut untuk mampu mengarang.

Sebelum mengenal lebih jauh lagi, kita harus memahami apa itu mengarang? Mengarang merupakan sarana untuk menenangkan pikiran, mengembangkan logika (akal), merangkai gagasan, berlatih mengeluarkan pendapat secara sistematis dan logis, menimbang-nimbang, memadu aksi-aksi dengan cara berfantasi. Mengarang merupakan rangkaian kegiatan manusia yang menggabungkan pengetahuan, pengalaman, tenaga waktu, akal (kecerdasan berpikir) dan kekayaan batin.

Bagi seorang penulis pemula jangan takut untuk mulai berekspresi melalui tulisan, karena cara plagiat dapat dilakukan. Plagiat salah satu cara menyebutkan bahwa pikiran, pendapat, hasil karya orang lain seolah-olah karya kita/ tidak menyebut referensi dari kutipan pendapat orang lain. Bahkan, seorang penulis pemula dapat melakukan penelitian dari pengalaman kehidupan seseorang. Akan tetapi sangat dianjurkan untuk tidak sepenuhnya mengikuti plagiat. Karena, apabila hal ini dilakukan, tidak ada nilai originalitas dalam tulisan tersebut. cara plgiat hanya sebagai sampel dalam bentuk awal tulisan kita.

Di zaman intelektual ini sangat diperlukan wawasan yang sangat luas. Bahkan dunia kepenulisan itu sendiri dapat dijadikan sebagai suatu bisnis. Hal ini sangat cocok dilakukan oleh para mahasiswa. Mengapa demikian? Karena mahasiswa merupakan masa-masa pendidikan yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi dalam menyusun kaidah bahasa yang sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Selain itu, tingkatan mahasiswa sudah mampu untuk berpikir kritis dalam mengadapi berbagai realita yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Bahkan seorang Herman Holtz mengatakan “ memberikan ide untuk menjadi seorang penulis entrepreneur yaitu dengan cara membagi pasar penulisan untuk dua kategori. Kategori pertama adalah pasar perseorangan. Jangan remehkan bahwa orang-orang di sekeliling anda, mungkin mereka membutuhkan layanan untuk membuat surat, puisi, ucapan selamat, makalah, proposal. Kategori kedua yang termasuk skala besar adalah instansi, baik pemerintah maupun swasta”.

Sebelum melakukan penulisan ada baiknya kita melakukan empat hal terlebih dahulu, yaitu: yang pertema adalah lakukan riset mendalam pada subjek yang kita pilih. Buatlah jadwal untuk melakukan riset, termasuk jadwal bertemu dengan narasumber, berkunjung ke suatu tempat, dan mencari bahan referensi di perpustakaan.

Yang kedua ialah, ceklah buku-buku lain yang mungkin akan menjadi pesaing buku kita. Pertama, kita harus melakukan survey ke beberapa toko buku dan jika mampu, belilah buku pesaing tersebut. kedua, bandingkan keunggulan serta kelemahannya. Ketiga, ceklah sumber-sumber referensi yang ada dalam buku tersebut.

Yang ketiga yaitu, membuat beberapa alternative judul yang baik untuk naskah kita. Judul yang tentative dapat diperkaya dengan judul-judul alternative lainnya sehingga betul-betul ditemukan judul yang pas dengan karakter kita.

Yang keempat yaitu, temukanlah model penulisan kita. Apakah kita kan menulis buku standar, buku nonfiksi atau buku fiksi, buku populer, atau buku serius.

Ketika sedang menulis faktor utama yang sangat dibutuhkan adalah suatu tekad yang kaut untuk manjadi penulis disertai kerja keras, kesabaran, dan ketelatenan. Bakat adalah sifat dan kelebihan bawaan yang dimiliki oleh seseorang, yang begitu saja melekat pada pribadi seseorang. Bakat kadang tidak gampang untuk dibaca dan dirasakan. Daripada menebak dan menghitung-hitung apakah kita berbakat atau tidak, yang labih baik adalah kita membulatkan tekad saja untuk menjadi seseorang penulis.

Seorang penulis yang kreatif akan bisa menulis dalam segala situasi. Dia bisa menulis di kala susah. Dia bisa menulis di kala gelisah. Dia juga bisa menulis di kala gembira. Dia juga tetap bisa menulis di kala suasana hatinya campur aduk dengan berbagai situasi dan perasaan. Dalam segala situasi (batin) seorang penulis yang kreatif akan tetap bisa mencari ide dan mendapatkan inspirasi.

Kita tentu bisa menemukan sendiri apa karakter khas kita; apakah menulis dalam situasi ramai, sepi, mendengarkan musik atau apapun itu. Semua tergantung kita sendiri. Juga soal kapan waktunya; pagi hari, sore hari, malam hari. Temukanlah kecenderungan dan karakter kita sendiri. Karakter dan kecepatan seorang penulis tidak bisa dipaksakan. Kita sebaiknya menemukan karakter khas kita sendiri. Yang penting kita bisa membikin karya karya dan tulisan yang bagus dan berbobot. Menjaga mutu ulisan adalah pekerjaan yang berat. Tapi kita harus mengusahakannya.

Oleh karena itu, pekerjaan menulis tidak pernah mengenal kata “ telat ”. karena seorang yang sudah memiliki gelar tinggi sekalipun belum tentu memahami struktur penulisan yang baik dan benar. Semuanya kembali pada tekad dan kemauan dalam diri tiap individu. Seseorang yang dapat berpikir positif mengenai dirinya, maka ia akan melahirkan karya yang posotif pula. Jadi, mulailah menulis dan tuangkan segala ide yang kita punya ke dalam bentuk tulisan!!!

By : mery