Selasa, 02 Oktober 2012

Kasih Menutupi Segalanya
Dalam sebuah keluarga hiduplah sepasang suami istri dikaruniai seorang anak yang sangat lucu. Sepasang suami istri ini sangat menyayangi anak mereka yang bernama Kevin. Meski hidup secara sederhana, namun rasa kasih sayang di antara suami istri tersebut melengkapi keutuhan keluarga kecil ini. Namun kebahagiaan mereka tidak berangsur lama. Saat Kevin berusia 2,5 tahun ia mengalami kecelakaan, Kevin terjatuh dari kereta bayinya. Ia mengalami patah pada kedua kakinya, bahkan otaknya tidak normal seperti kondisi anak-anak lainnya. Kevin lucu berubah menjadi anak yang pendiam dan hanya bisa mengandalkan bantuan dari orang lain.
15 tahun pun berlalu, kehidupan seorang Kevin hanya dihabiskan di atas kursi roda miliknya. Kegiatan sehari-harinya pun dibantu oleh kedua orangtuanya, mulai dari mandi, makan, berpakaian, dan lain-lain. Keteguhan hati suami istri tersebut tidak pernah hilang. Mereka dengan penuh cinta merawat anak semata wayangnya. Meski memiliki kekurangan, Kevin tidak pernah kehilangan semangat. Suatu ketika saat ia menonton TV bersama sang ayah, ia menunjuk ke arah TV.
“Ada apa vin?” tumben kamu enggak tenang gini nonton TVnya” ujar ayah bingung.
Melihat sifat Kevin yang semakin berisik sambil menunjuk ke arah TV, maka ayahnya pun mengerti.
“Ooohhh,,kamu mau ikut lomba lari. Mau dapat pialanya ya, Nak? Tanya ayah tersenyum.
Mendengar omongan sang ayah, Kevin lalu diam dan tersenyum sumringah sambil bertepuk tangan.
Meski kedua kakinya tidak berfungsi lagi, Kevin tetap memiliki mimpi untuk dapat merasakan yang namanya medali. Ia ingintahu bagaimana beratnya medali emas tersebut melingkar lehernya.
Melihat senyum indah yang terpancar dan semangat yang bergejolak dalam diri anaknya, maka Rupert menyanggupi permintaan anaknya.
Mulai esok pagi mereka mulai berlatih. Sang ayah berlari sambil mendorong kursi roda si buah hati. Selain latihan lari mereka juga berlatih bersepada sambil membawa kursi roda Kevin. Demikian tiap hari dilakukan oleh sang ayah. Ia tidak menghiraukan keringat yang membasahi tubuh kekarnya. Demi kebahagiaan dan kesenangan Kevin ia rela mengorbankan banyak keringat dan energi.
Tiba saatnya pertandingan lari. Seluruh peserta sudah berkumpul di lapangan. Hanya Kevin dan ayahnya lah yang mencuri perhatian orang banyak. Tidak ada rasa malu sedikitpun menyelimuti hati sang ayah. Ia justru bangga memiliki anak seperti Kevin.

Pesan moral: Kasih sayang orang tua kepada anaknya melebihi segala-galanya. Baik ataupun buruk kondisi salah satu keluarga,tetaplah keluarga kita. Dengan kasih sayang akan muncul kesabaran, keteguhan, dan salah satu yang tidak pernah hilang adalah semangat untuk menjalani hari-hari kita.

Tora Si Baik Hati
          Di sebuah desa hiduplah seorang pemuda yang sangat miskin ia bernama Tora. Tora adalah seorang anak yang sangat sabar dan murah hati. Ia selalu ihklas untuk mengerjakan sesuatu. Tidak pernah ia mengeluh untuk mengerjakan sesuatu. Kesulitan yang selama ini ia hadapi membuatnya untuk berpikir mencari pekerjaan.  Hingga suatu hari,  Tora ditawari pekerjaan untuk mengelola sawah seorang petani kaya raya yang bernama Himishu. Pak Himishu adalah seorang petani yang sangat kaya raya dan murah hati. Meski badannya besar namun kelembutan hatinya tidak ada yang bisa mengalahkannya.
          Sudah seminggu  Tora bekerja di sawah milik pak Himishu. Ia sangat kagum akan sifat tora yang tidak mudah menyerah dan semangatnya untuk selalu giat bekerja.
          “Tora sekarang waktunya istirahat. Apa kau tidak lelah dari tadi hanya bekerja?” ujar pak Himishu
“Tanggung pak, sedikit lagi tumpukan jerami ini selesai saya rapikan,” Jawab Tora.
“Baiklah, jangan terlalu dipaksakan untuk bekerja, yang ada nanti kamu sakit,” jawab Pak Himishu.
“Baik pak.”
          Tora memang pemuda yang sangat giat bekerja. Ia tidak akan berhenti sampai kepuasan ada dalam hatinya. Semangatnya yang membara tidak ada yang mampu mematahkannya untuk bekerja. Jika pekerjaanya belum selesai dikerjakan maka ia tak akan berhenti bekerja. Sifatnya yang gigih tersebutlah yang mampu membuat pak Himishu menyanyanginya. Pantang menyerah selalu ada di benak Tora.
          Kemewahan yang dimiliki pak Himishu ternyata tidak membuat kepuasaan hatinya terpenuhi. Karena Zhisuka anak gadis semata wayangnya yang cantik jelita belum memiliki suami. Ia ingin mencarikan jodoh yang tepat bagi anaknya. Ia tidak mau salah memilih, karena dari sekian lelaki yang melamar hanya mengingingkan kemewahan pak Himishu. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Tora. Sosok lelaki yang dianggap pantas untuk menjaga dan mengelola sawahnya kelak.
          Seiring berjalannya bulan, pak Himishu jatuh sakit. Para dokter mengatakan bahwa permintaan terakhirnya harus dikabulkan. Jika tidak beban yang ada di pikirannya akan memperburuk keadaannya. Berbagai macam obat telah diberikan, namun dokter hanya mampu menyerahkan keadaanya pada Mahakuasa.
           Keesokan paginya pak Himishu memanggil Tora ke kamarnya.
“Bapak memanggil saya?”
“Ya, Tora.”
“Ada Yang bisa saya Bantu pak?”
“Tora, maukah kau berjanji untukku?”
“Janji, janji  apa Pak?”
“Umurku sudah tidak lama lagi. Aku ingin sawah yang kumiliki jatuh ke tangan orang yang tepat. Aku melihat kau adalah orang yang tepat untuk mengelolanya. Dari sekian banyak pekerjaku, hanya engkau yang mampu mencuri perhatianku. Sifat pantang menyerahmu yang membuatku kagum padamu.”
“Tapi pak….”
“Sudah, jangan pakai tapi-tapi. Dan ada satu hal lagi.”
“Satu hal lagi? Apa itu pak?”
“Aku sangat menyanyangi putriku Zhisuka, maukah kau menikahinya? Menurutku engkau adalah pemuda yang tepat untuknya.”
“Kalau itu yang bapak inginkan, maka saya akan mencoba dan menerima permintaan bapak.”
“Terima kasih Nak.”
                    Beberapa hari kemudian Pak Himishu meninggal dunia. Ia merasa begitu sulit mempercayai kepergian pak Himishu yang terlalu cepat. Kebaikan seorang pak Himishu seakan tidak pantas digantikan olehnya. Dan selang beberapa hari Tora menepati amanat yang telah dititipkan kepadanya. Ia menikah dengan Zhisuka dan menjadi tuan tanah atas sawah yang dititipkan kepadanya.
“Zhisuka, terima kasih untuk semuanya. Engkau adalah masa depan terindah yang Tuhan berikan untukku. Jika pak Himishu masih ada, beliau pasti bangga melihat pernikahan kita.”
“Pastinya sayang. Aku juga bersyukur Ayah mengenalkanmu padaku. Aku percaya kita mampu untuk menjalankan amanat ayah.”
          Mendengar janji antara Tora dan Zhisuka, mereka mencoba hidup baru untuk mengelola kehidupan rumah tangga mereka. Hingga mereka dikarunia dua orang anak laki-laki yang sangat lucu. Kehidupan Tora yang semakin lengkap, membuatnya tidak henti-hentinya untuk selalu bersyukur. Ia pun mengajarkan istri dan kedua anaknya untuk selalu hidup taat beribadah. (mry)

Kisah Anak yang Durhaka
Di sebuah Desa Hiduplah seorang janda miskin dengan seorang anak gadisnya. Janda ini membanting tulang sehari-hari dengan mencari kayu ke hutan. Sementara Si anak yang bernama Gendis hanya bermalas-malasan di rumahnya yang seperti gubuk karena jarang dibersihkan. Setiap hari ia hanya bersolek di depan cermin.
Pada suatu pagi , Sang janda tergopoh-gopoh menyiapkan sarapan. Hal ini terjadi karena Ia bangun kesiangan akibat badannya yang terasa letih mencari kayu seharian kemarin.
“Ibu, mana sarapannya?” teriak Gendis sambil memegang cermin di tangannya.
“Iya Nak, ini sudah siap kok” ujar ibu dengan penuh kesabaran menanggapi kekasaran si anak.
“Apa ini, kok hanya singkong rebus dengan segelas teh?” bentaknya sambil melempar piring hingga terjatuh ke lantai.
Melihat sikap Gendis janda itu hanay bias kuat dan sabar untuk menahan air matanya yang ingin menetes.
“Tapi Nak, kita hanya punya ini. Ibu harus menyimpan uang untuk kebutuhan kita besok’ jawabnya lirih.
“Apaaa, buat besok? Ibu tega kasih makan Aku Cuma dengan sepiring singkong dan segelas teh. Aku enggak mau tahu, pokoknya hari ini kita harus ke pasar untuk belanja. Aku mau makan enak hari ini.”
Mendengar perkataan anaknya si Ibu hanya bisa diam dan mengikuti kemauan anak tersayangnya. Seketika itu juga mereka pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Setibanya di pasar Gendis mengalun-alunkan kipasnya, sementara sang Ibu berjalan di belakang membawa keranjang belanjaan. Warga desa yang ada di pasar terkagum-kagum akan kecantikan yang dimiliki Gendis. Di tengah perjalanan muncullah sekumpulan pemuda menggoda Gendis.
“Haii Nona cantik, siapakah nama Nona?” goda pemuda 1.
“Bolehkah kami kenalan dengan Nona?” ujar pemuda 2.
Mendengar pujian tersebut Gendis hanya bisa tersenyum bangga akan kecantikan yang dimilikinya. Pikirnya tidak sia-sia ia merawat dan bersolek tiap hari demi kecantikan yang dimilikinya. Tiba-tiba muncullah pertanyaan,
“Siapakah Ibu tua yang berjalan di belakangmu Nona, apakah dia ibumu atau pembantumu?” ucap pemuda 3 tidak mau ketinggalan.
Mendengar satu pertanyaan itu, Gendis hanya bisa tersenyum manis dan menjawab “Bukan, dia adalah PEMBANTUKU” jawabnya dengan penuh kesombongan.


Saat tiba di tukang sayur, dan ingin membayar belanjanya,
“Semuanya Lima belas ribu Nona cantik. Siapakah ibu tua di belakangmu itu?” ujar pedagang sayur yang iba melihat kondisi janda tua yang terlihat lusuh tersebut.
“Ini uangnya pak. Dia adalah PEMBANTUKU” untuk kedua kalinya Gendis mengatakan ibunya sebagai Pembantu.
Mendengar pengakuan sang anak, janda itu hanya bisa diam dan mencoba kuat mendengar pengakuan anak tersayangnya.

Setelah membeli kebutuhan sehari-hari, mampirlah mereka ke toko kain. Gendis ingin membeli kain baru untuk menghiasi tubuh indahnya.
“Permisi Pak, tolong beri dua kain indah itu pak” pintanya sambil menunjuk ke arah kain yang berjejer.
“Wah, pintar sekali Nona memilih warnanya. Kedua warna ini sangat cocok dengan kulit indah Nona” ujar pedagang sambil membungkus kainnya.
“Berapa semuanya pak?’
“Empat puluh ribu saja Nona. Kalau boleh saya tahu, siapakah gerangan wanita tua yang berdiri di belakang Nona itu?”
“Ini uangnya Pak. Dia adalah PEMBANTUKU, terima kasih kainnya ya Pak.”

Mendengar untuk ketiga kalinya janda itu disebut sebagai pembantu, maka Ia tidak tahan lagi akan pengakuan anaknya. Maka ia berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, hamba memang sangat mengasihi Gendis dengan segala kekuranganku. Hamba menerima semua perlakuannya kepadaku selama ini. Namun, kata-kata pembantu yang diakuinya sudah sangat melukai perasaan hamba. Kuserahkan anak ini ke dalam tangan-Mu. Terserah pada-Mu Kau apakan dia. Berilah kebesaran-Mu Tuhan” doa sang Ibu dengan air mata yang tidak terbendung lagi.

10 menit setelah janda itu berdoa, kebesaran Tuhan pun terjadi. Perubahan terjadi pada diri Gendis. Mulai dari ujung kakinya berubah menjadi batu. Perlahan-lahan batu itu mulai menyelimuti tubuhnya, sedangkan penyesalannya mulai datang di akhir karmanya. Warga di pasar hanya bisa tertegun melihat tragedi ibu dan anak itu.

Pesan moral cerita : sebagai seorang anak haruslah kita menghargai orang tua kita. Khususnya seorang ibu yang telah berjuang antara hidup dan mati untuk berjuang  melahirkan kita. Seburuk-buruknya mereka tetaplah orang tua kita. Titipan kedua Tuhan untuk kita hormati di dunia ini.
(Mry)